feedburner

Lorem ipsum dolor sit amet,
consectetur adipisicing elit,
sed do eiusmod tempor incididunt ut labore
et dolore magna aliqua.

Cinta Pertama ?

Labels:

Kalau ada yang tanya siapa cinta pertamaku mestinya kujawab Adri, pacarku dulu di SMA (nama lengkapnya Adrianto). Memang dialah laki-laki pertama yang berani menggandeng tanganku waktu kita jalan bersama pulang dari sekolah. Malahan dia juga yang pertama kali mencium aku, pulang dari bioskop di suatu malam minggu. Waktu dia dan aku berpisah, setelah lulus ujian untuk melanjutkan kuliah di kota yang berbeda, hanya untuk dialah aku pernah meneteskan air mata haru. Sampai bertahun-tahun, setelah lama kami berpisah, fotonya masih kusimpan. Sekarang sih tidak lupa, tapi masih ada. Maksudnya foto yang asli itu kini sudah hilang, tapi beberapa bulan yang lalu adiknya sempat mengirim foto Adri lewat e-mail. Foto dia yang dulu dan fotonya bersama keluarganya. Sekarang masih tersimpan di laptopku. Pasti tidak berani ku-afdruk, takut kalau suamiku melihatnya dan kurang suka.

Tapi kalau aku ditanya siapa laki-laki pertama yang pernah dan telah meninggalkan kesan yang khusus, malah sensual, terpaksa aku jawab orangnya bukan Adri. Soalnya orang yang pertama kali 'nekad' mencoba menggugah 'birahi'ku memang bukan Adri. Orang itu masih tetanggaku juga, lebih muda dari aku kira-kira 4 - 5 tahun. Di kemudian hari dia malah jadi saudara, karena menikah dengan yang masih keponakanku sendiri. Biarpun keponakan tiri, karena hubungan perkawinan pamanku. Kalau tau dia bakal jadi saudara mungkin dulu aku akan lebih hati-hati. Tapi pada siang itu siapa yang tau apa yang akan terjadi

Siang yang tak terlupakan itu aku sedang santai di rumahku, sebuah rumah yang pada jaman itu terletak di pinggiran kota kecil di sebuah daerah pertanian. Kedua orang tuaku sedang di luar rumah, begitu juga kakak-kakakku. Kuhempaskan tubuhku di ranjangku, yang pintunya terbuka ke arah taman samping umah yang cukup rindang. Pintu ke dalam rumah dalam keadaan tertutup. Kukeluarkan buku stensilan 'porno' yang tadi dikasih Dewi, teman sebangku di sekolah. Karena iseng, sambil menunggu sore kubaca saja. Lagipula juga ada rasa ingin tau seperti apa buku2 stensilan yang sering dihebohkan teman-temanku di sekolah. Dengan santai dan enteng mulai kubaca buku stensilan itu ... Awalnya perasaanku biasa-biasa saja, sambil membaca kadang-kadang aku senyum simpul membayangkan ceritanya. Tapi lama kelamaan ceritanya makin seru ... wah jadi Cerita Seru nih ... apalagi waktu isi sudah mulai berkisah tentang adegan-adegan cumbu rayu, lepas busana, dan oral sebagai pembukaan. Kurasakan nafasku agak sesak dan jadi sedikit lebih cepat daripada biasanya. Biarpun kipas angin menyala kencang (jaman itu di rumahku belum ada AC), suhu tubuhku rasanya memanas. Wah stensilan yang kubaca itu rupanya mulai punya efek ...


“Selamat siang mbak” ... Suara seorang laki-laki muda membuat aku terkejut seperti disamber geledek. Tanpa aku sangka-sangka ada orang yang berani masuk ke taman samping dan masuk ke kamar lewat pintu samping itu. Kucoba sembunyikan buku stensilan ke bawah bantal, tapi agak terlambat. Apalagi ukurannya agak besar panjang dan lebarnya. Kulihat Pram berdiri di pintu yang terbuka memandangiku dengan tatapan yang agak aneh. Tentu saja, biasanya dia melihatku dalam keadaan rapih. Sekarang aku sedang berbaring di tempat tidur, dasterku agak terkuak. Berhubung tadi tanpa sadar mengelus-elus pahaku sendiri sambil membaca buku stensilan itu. "Ada apa dik Pram?" ... kataku gugup sambil mencoba merapih-rapihkan bantal dan dasterku. “Maaf mbak langsung kemari, soalnya kok di ruang depan gak ada orang,” katanya santai. Lalu dengan santai juga dia duduk di pinggiran ranjangku. "Wah kurang ajar" umpatku dalam hati. “Ini mbak ada surat untuk bapak,” sambil menyerahkan sebuah amplop tertutup. Aku tidak tau isinya apa dan juga tidak ingin tau. Memang orang-tuanya Pram menyewa tanah sawah milik orang-tuaku. Mungkin isi amplop itu uang sewa, uang bagi hasil atau jangan-jangan surat pemohonan menunda pembayaran J

Bukannya cepat keluar kamar, Pram malah mengajak ngobrol kesana-kemari. Sesekali kulihat matanya melirik ke pinggiran buku stensilan yang pinggirannya menyembul dari bawah bantal. Tiba-tiba tanpa sempat kucegah tangannya menarik buku stensilan dari bawah bantal. Dia menyeringai kepadaku dan mulai membaca. Sempat aku mau marah bercampur malu ... Tapi akhirnya kubiarkan saja dia membacanya. Anak kecil inilah dia. Suasana di kamarku hening. Sekali-sekali kudengar Pram melepas nafas yang rupanya dia tahan-tahan. Aku yakin pasti buku stensilan ini mulai ber-efek pada Pram. “Aku belum pernah lho mbak?” ... suara Pram memcah keheningan. “Belum pernah apa,” tanyaku. Ia tersenyum malu-malu, “Seperti yang di buku ini.” Langsung kutimpali dengan agak sengit, ”Ya jangankan kamu yang masih hijau, aku juga belum pernah.” Lalu untuk mempersingkat gangguannya kuminta dia meninggalkan aku. “Mbak mau bobo dulu ah,” sambil kubalikkan tubuhku membelakanginya.

Tadinya kupikir dia akan langsung keluar kamarku. Baru aku sadar bahwa dia masih di sini, waktu tangannya terasa memeluk pinggangku. Aku sempat bingung. Tadinya aku mau langsung marah, tapi takut kalau Pram nanti cerita ke orang-tuaku. Jadi aku pura-pura tidur. Ternyata beberapa saat kemudian dia makin berani. Dicium-ciumnya bahuku yang terbuka. Akhirnya terpaksa aku membalikkan tubuh. Ternyata aku membuat gerakan yang salah ... Pram yang umurnya lebih muda dari aku itu langsung menindihkan dadanya di atas dadaku dan menekankan bibirnya pada bibirku. Aku mau berontak, tapi kedua tanganku dipegangnya. Aku mau berteriak, tapi enatah bagaimana ada rasa takut juga. Rupanya dia mengira aku menikmati perbuatannya. Disingkapnya bagian atas dasterku yang memang longgar, lalu diarahkannya bibirnya ke puting dadaku. Mudah sekali, karena akupun tidak mengenakan bra. “Jangan Pram, jangan ...” Aku mencoba mem-protes. Tapi suaraku terdengar kurang meyakinkan. Soalnya birahiku tersulut juga. Adri, pacarku, termasuk pemuda yang sopan dan santun, jadi dengannya aku tidak pernah mengalami sensasi-sensasi yang seperti ini.


Tiba-tiba dilepasnya kedua pergelangan tanganku, tapi seketika itu juga kedua tangannya memegang lututku. Setelah dia renggangkan mulailah dengan ganas bibirnya menciumi pahaku. Perasaanku dibuat Pram terlambung tinggi ... Apalagi waktu ia menekan vaginaku dengan dagu dan bibirnya. Walaupun ada celana dalam tipis yang melindunginya, rasa nikmat seperti menjalari tubuhku. Waktu Pram membuka bajunya, karena mungkin mulai basah oleh keringat, tanpa sadar aku membantunya supaya mudah tanggal.

Sensasi birahi menghanyutkanku jauh ... Tiba-tiba Pram melorot celana dalamku turun, sebelum kusadar apa yang sedang terjadi dia sudah berhasil melepasnya tuntas. Sekarang lidahnya terasa menjilati vaginaku. Aku makin hanyut dan tidak mampu lagi bepikir jelas. Pram menggeser tubuhnya dan melepas celana jeans-nya. Lalu menggeser lagi dan memposisikan dirinya berlawanan arah dengan posisi tubuhku. Jadi kami sudah berhadapan dalam posisi 69. Sambil terus menciumi pahaku dan menjilati vaginaku tangannya menarik tanganku kebagian celana dalamnya yang menonjol. Mulanya agak ragu, tapi akhirnya kuremas-remas juga dengan bergairah. Pram mengangkat kepalanya dan menatapku. “Lepas mbak celananya,” katanya meminta dengan lembut. Entah kasihan atau memang aku juga sudah membara, akhirnya kulorot celana dalamnya turun. Penis anak muda ini mengacung keras di depan wajahku. Aku sempat terpana, “Wah besar juga.” Tadi melihat tubuhnya telanjang aku sudah mengagumi otot-ototnya yang sudah terbentuk. Sekarang melihat penisnya aku jadi kagum juga. Mungkin panjangnya ada 17 cm atau lebih, gemuk dengan dengan urat-urat halus yang terlihat jelas. Akhirnya kuelus-elus sambil sekali-sekali kukocok-kocok ... Sampai akhirnya dia memintaku, “Mbak kayak yang di-stensilan itu dong.” Kurang mengerti kutanya, “maksud kamu?” Masih dengan tatapan malu-malu wajah yang tampan dengan kumis yang tipis itu menegaskan, “Emutin mbak.” Aku tersenyum pura-pura bingung. Tadinya memang sudah terpikir, tapi gengsi dan rasa malu mencegahku.


Mulai kukecup-kecup lembut penis Pram yang keras itu. Tadinya hanya kepalanya, tapi akhirnya seluruh batangnya. Pram mendesah keenakan, sambil mendorong-dorong maju penisnya kearah wajahku. Akhirnya kubuka mulutku juga, langsung kujilat-jilati. Tadinya ada rasa jijik juga, tapi lama kelamaan aku mulai menikmatinya juga. Apalagi sensasi yang kurasakan waktu mengulum dan mengemutnya. Baru aku sadar bahwa orang tidak perlu guru tentang ini. Dari baca buku stensilan dan membuka diri (juga hati), secara alamiah gairah birahi akan menunjukkan jalan. Lama kelamaan Pram mulai tidak tahan juga, begitu juga aku aku. Karena sudah dijilati dari tadi aku duluan aku mencapai orgasme. Rasanya bebas dan lepas, tanpa ragu aku mengerang nikmat. Sensasi yang kurasakan jauh lebih nikmat daripada waktu aku masturbasi.

Tidak lama kemudian Pram berbisik, “Lepas ya mbak.” Segera kumundurkan kepalaku hingga penisnya lepas dari emutan mulutku. Rasanya aku belum bisa. Kutawarkan dengan kocokan tanganku saja, tapi Pram tidak mau. Tiba-tiba dia bangkit dan merubah posisi tubuhnya. Sekarang dia berada di bawah pahaku yang mengangkang lebar. Aku menjerit kecil, “Jangan Pram, kalau itu mbak nggak mau, mbak masih perawan.” Pram tersenyum meyakinkan diriku. “Nggak kok mbak aku masukin sedikit, kepalanya aja,” begitu katanya. Kubiarkan ia melakukan itu, tapi dengan syarat sambil aku yang mengocok penisnya. Dia mengiyakan, akupun melakukannya. Tidak berapa lama kemudian Pram mengerang panjang. Penis yang tadi kepalanya dijepit oleh bibir vaginaku aku jauhkan. Akibatnya sperma kental putih Pram menyembur dan tumpah ke atas perut dan dadaku. Rasanya hangat ... Baru kali itulah aku tau baunya sperma seperti apa. Pram sempat memeluk dan menciumi aku, tapi segera kusuruh dia membersihkan diri sebisanya dan keluar dari kamarku. Terus terang malamnya aku tidur dengan rasa puas.

Setelah siang itu aku selalu berusaha menghindarkan Pram, khususnya kalau dia ingin mengajakku ke suasana intim seperti waktu itu. Sesering mungkin Adrian kuminta mengantarku atau datang kerumahku, terutama pada malam minggu. Setelah lulus ujian akupun meninggalkan kota kelahiranku. Sengaja aku tidak menemui Pram, walaupun dia berusaha mencari-cari aku. Setelah aku lulus menjadi sarjana, lalu bekerja dan akhirnya menikah, baru aku mendapat kabar tentang Pram. Terutama karena dia menikah dengan kerabatku sendiri, yang masih terhitung keponakan. Tapi entah bagaimana pada waktu pulang kampung, hampir-hampir aku tidak pernah bertemu dengannya. Bertahun-tahun berlalu, akhirnya aku sudah mencapai umur 36 tahun. Karirku sudah mulai mapan, begitu juga kehidupan rumah-tanggaku. Pada suatu waktu aku terpaksa pulang ke kota kelahiranku secara mendadak. Masalahnya ada yang harus aku tanda-tangani di depan notaris atau PPAT, sehubungan adanya balik nama atas tanah dari eyangku kepada aku. Karena anak-anak belum libur dan suamiku sibuk di kantor, terpaksa aku pergi sendiri. Tadinya aku mau bolak-balik saja, tapi karena terlalu lelah, setelah urusan balik nama selesai kuputuskan untuk menginap di rumah masa kecilku. Sekalian liat-liat apa yang harus diperbaiki di situ. Betapa terkejutnya aku waktu mengetahui bahwa yang dititipi merawat rumahku adalah Hesti, keponakan jauhku, istri Pram. Maklumlah kakak-kakakku tidak ada tinggal di kota ini, sedangkan orang-tuaku diajak untuk tinggal di tempat salah-satu kakakku.

Malam itu Hesti dan Pram membawakan makanan kesukaanku, bahkan menemaniku makan. Suasana kota kecil memang cukup sunyi jam 19.00 keatas. Awalnya aku agak gelisah juga berada terlalu dekat dengan Pram, walaupun ada Hesti, dan walaupun apa yang pernah terjadi dengannya mungkin sudah 17 atau 18 tahun yang lalu. Tapi Pram bersikap sangat santun dan begitu meladeni, jadi kupikir dia sudah menganggapku saudaranya, malah terhitung tantenya. Tadinya mereka menawarkan untuk menemaniku menginap, tapi kutolak dengan alasan ingin menikmati rumah masa kecilku. Apalagi rumah Pram dan Hesti tidak jauh dari rumah orang-tuaku atau rumah masa kecilku, di mana aku bermalam. Demikianlah setelah bersih-bersih diri dan wajah, sesuatu yang rutin kulakukan tiap malam, kubaringkan tubuhku yang penat di tempat tidur. Aku tersenyum-senyum kecil mengenang peristiwa hampir 20 tahun yang lalu di kamar dan ranjang yang sama pada waktu aku remaja, menjelang dewasa. Ranjang peninggalan orang tuaku yang kuno ini memang kuat dan awet sekali. Satu hal saja yang membuat aku merasa agak kurang nyaman, yaitu karena pintu kamarnya agak rusak sehingga tidak bisa dikunci.

Aku baru saja terlelap sejenak, ketika kurasa ada nafas hangat yang menghembus di leherku. Sensasi dan suasananya agak mencekam, tapi rasanya aku tidak takut. Kubuka mataku pelan-pelan, di keremangan kamar yang hanya diterangi lampu kecil di meja rias. Kutegas-tegaskan pandanganku sampai akhirnya terlihat wajah Pram menatapku lembut, “Tante ... mbak ... sayang ...” Kutegakkan tubuhku, terus terang aku agak kaget juga. Wajah Pram masih tampan, malah lebih gagah daripada dulu. Bidang dadanya, otot-otot lengannya jauh lebih terbentuk daripada dia di kala remaja. Tentu saja dia tampak lebih jantan dibanding ketika ia menggumuliku di siang itu, bertahun-tahun yang silam.

“Ada apa ... Kenapa kamu di sini ... Mana Hesti?” demikian tanyaku seperti dengan suasana hati yang agak kacau. Aku tersinggung dia ada di sini, dan yang pasti kuatir kalau Hesti tau, tapi sejujurnya juga ada rasa senang dan tersanjung. Pram meraih tanganku dan mengecup-ngecupnya. “Tenang mbak, Hesti ada di rumah ... Saya tadi pamitan mau ke rumah teman, mungkin agak lama jadi dia nggak usah nunggu,” Pram menjelaskan. Sekarang dia tidak lagi memanggilku tante seperti kalau ada Hesti. “Terus kenapa kamu di sini,” tanyaku ketus. “Kangen mbak ... bertahun-tahun saya nunggu ada kesempatan ini. Terutama sejak kamu pergi menghilang begitu aja,” kata-katanya mengalir dengan lancar. Aku agak terlanda juga oleh emosi Pram, ada sesuatu yang kosong yang dia penuhi malam ini. Sesuatu yang dulu Adri tidak bisa mengisi, malah suamikupun tidak. Apalagi dengan kesibukan kerja yang kadang-kadang membuat perasaanku hambar. Aku tidak tau harus bilang apa, apalagi perasaanku juga semakin tercekam.

Kupandangi laki-laki yang sedang berlutut di sebelah ranjangku. Tanpa bisa kukendalikan lagi kedua tanganku merangkul kepalanya. Di dadaku wajahnya mendarat mesra, membangkitkan gairah hidupku. Ia menggeliat, bibirnya mencari bibirku, lalu diciumnya aku. Lembut, lalu ganas, dengan perasaan yang mungkin sudah lama terpendam. Aku membalasnya, membiarkan birahi remaja yang sudah lama padam hidup lagi. Pada usia yang sudah jauh lebih tua ternyata nafsu kami berdua bisa kembali menggebu-gebu seperti dulu. Kami saling melepas busana. Aku yang terbaring terlentang ditelanjanginya, sambil bibir dan lidahnya melumat bibir dan wajahku, lalu dada dan ketiakku, tanpa lupa memuji harum tubuhku, katanya aku semakin berumur semakin cantik dan menggairahkan. Dengan sebisanya kulepas bajunya, kutelan air liurku melihat tubuh telanjangnya. Masih seperti dulu, tapi dalam versi yang lebih gagah dan dewasa. Kucoba juga mencium dan menggigit-gigit lembut bahu dan dadanya, sampai ia mengerang keenakan. Aku sadar ketika Pram meloloskan celana dalamku, tanpa menduga apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Tapi waktu jilatan lidahnya meninggalkan perutku, melanda celah pahaku dan akhirnya menyapu bibir vaginaku tak tertahankan akupun menjerit. Oooh lama sekali ini tak kualami, yang pasti tidak dengan suamiku. Malah dia yang selalu mewajibkanku melakukan oral kepadanya. Timbul keinginan di hatiku untuk memberi yang terbaik buat Pram.


Kugapai bahunya, kuminta ia bergeser ke atas. Tubuhnya bergerak seperti kuarahkan, mengangkang di atas perutku. kuusap-usap pinggangnya. Pram melenguh, dan mendesah sewaktu kulorot celana dalamnya. Penisnya yang keras mengacung di hadapan wajahku. “Mbak, ayo mbak, kayak dulu ...” erangnya memohon. Langsung kupenuhi permintaannya. Kucium dan kujilati kejantanan yang dulu pertama kali membuka gerbang birahiku di masa remaja. Setelah puas menjilati penis Pram, kumasukkan dengan kerinduan yang seolah terpendam bertahun-tahun, tapi sebenarnya oleh keinginan kembali ke libido masa muda yang beberapa tahun terakhir ini seakan padam. Suara erangan Pram membuatku senang dan semakin bersemangat, apalagi penisnya itu begitu keras dan kuat. Ada rasa nyaman di antara gairah birahi yang menggelora.

Kadang-kadang Pram sulit mengendalikan diri, dipegangnya kepalaku dan digerakkannya penisnya mundur maju dalam mulutku. Karena ukuran dan tingkat ketegangannya beberapa kali aku hampir tersedak. Kalau sudah begitu kutahan nafasku, kupegang pantatnya dan kutahan sejenak, tapi dengan emutan yang semakin kuat. Ini membuat Pram senang. Dinikmatinya itu sambil tangannya meremas-remas payudaraku dengan lembut. Akhirnya aku tak tahan lagi. Kuminta Pram memasuki diriku, “Sekarang ya sayang, mbak juga udah kangen.” Dikeremangan Pram tersenyum dan tanpa menunggu lama digeserkannya tubuhnya turun. Direnggangkannya kedua pahaku, diusap-usapnya dengan penisnya yang keras dan besar itu. Lalu ia mendorong masuk ... “Hmm dulu hanya boleh kepalanya ya, sekarang semua ya mbak,” Pram sempat berbisik lembut.

Tapi aku menanggapi dengan jeritan kecil, ternyata kepunyaan lelaki jantan ini agak besar juga. Diapun bergerak lebih lembut, memang Pram orangnya peka juga. Setelah semakin dalam penis Pram masuk ke liang vaginaku barulah dia menggerakkannya maju mundur lebih keras. Aku hanya bisa mendesah dan mengerang oleh nikmat, sewaktu penis Pram masuk semakin dalam. Hingga akhirnya tubuh kami menyatu, dan tubuh Pram bergerak lembut naik turun di atas tubuhku. “Pram, aduh Pram ...” ternyata belum 10 menit aku sudah mencapai orgasme yang pertama. Perpaduan antara kebutuhan fisik dan dahaga jiwaku membuatku sangat siap untuk tidak lama-lama mencapai klimaks. Pram tersenyum, dilembutkannya gerakan penisnya, tapi hanya sebentar. Tidak lama kemudian ia mulai bergerak dengan dahsyat, tapi sekarang dengan lebih bervariasi. Dimiringkannya tubuhku, lalu didorongnya penisnya masuk vaginaku dari arah belakang menyamping.

Aku kehabisan kata-kata. Hanya dapat mengucap, ”Aduh enak sayang, enak sekali.” Sementara malam bergerak menuju subuh Pram muncul dengan variasi lain-lain. Dimasukinya vaginaku dengan gaya ’doggy style,’ setelah itu dimintanya aku mengambil posisi di atasnya. Penisnya terasa dalam menghunjam liang vaginaku, membuatku melambung menuju puncak kenikmatan. Ketika akhirnya aku terkapar letih, dalam pelukannya, aku merasa bukan hanya puas, tapi juga bahagia. Sambil merasakan kecupan-kecupan lembut Pram di bahuku kubayangkan tahun-tahun di mana aku terpisah darinya. Pram yang resminya bukan cinta pertamaku, tapi yang pertama membuka wawasan bercinta kepadaku. Pram jugalah yang kini memenuhi dahagaku, setelah lama aku tak terpenuhi di padang gurun kehidupan yang kering gairah cinta. Ketika Pram beranjak dari ranjang kenangan kami, untuk kembali ke rumahnya, aku melihat dirinya dengan cara yang berbeda ketimbang sebelumnya. Dia bukan seorang lelaki yang lebih muda usianya daripadaku, dan dulu kuanggap anak kecil; juga bukan suami keponakan jauhku, tapi laki-laki yang punya sejarah dalam kehidupanku.


Sebelum akhirnya aku kembali ke Jakarta, dua hari setelah kedatanganku, masih sempat Pram memenuhi hasrat diriku. Kupikir memang dia punya libido yang tinggi dan kuat bersenggama, tapi menurut pengakuannya sendiri justru karena berhubungan seks dengankulah dia menjadi perkasa. Terus terang kata-katanya membuatku merasa tersanjung juga. Sewaktu pamitan Hesti kupeluk dengan kehangatan seorang bibi, tetapi kepada Pram yang kuberi adalah pelukan seorang perempuan yang mencintai dan telah dicintai ... Tentunya itu tidak kulakukan di depan Hesti. Di sepanjang jalan menuju Jakarta hanya Pram yang terbayang di benakku. Baik sosok Pram yang dahulu, maupun sosok Pram sekarang. Ternyata kedua gambaran dirinya itu sama-sama memberi kehangatan di hatiku. Mungkin karena aku membayangkan dirinya dengan cara pandang cinta. Entah cinta yang keberapa, pertama atau bukan tidak jadi soal untukku. Yang pasti cintanya adalah cinta yang utama dan tak akan pernah kulupakan.

NB:
Walaupun menggunakan nama samaran semoga dia yang pernah menjalin cinta denganku membaca cerita ini (kalau dia anggota Forum DS). Kalau sewaktu membaca dia sekedar tersenyum saja, aku sudah merasa senang dan bahagia. Terima kasih ya sayang. Semoga kamu selalu sukses dan bahagia dengan istri dan anak-anak kamu.

0 comments:

Post a Comment